khulafaurrasyidin


      Setelah Rasulullah SAW wafat maka kepemimpinan umat islam di teruskan oleh khulafaurrasyidin yaitu Abu bakar as-sidiq, umar bin khatab, usman bin affan dan Ali bin abi thalib.

      A. Khalifah Abu Bakar as-Siddiq (632-634)
Setelah Nabi wafat, sebagai pemimpin umat islam adalah Abu Bakar as-Siddiq sebagai khalifah. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat setelah Nabi wafat untuk menggantikan Nabi dan melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan pemerintahan.[1]
Masa awal kekhalifahan Abu Bakar diguncang pemberontakan oleh orang-orang murtad, orang-orang yang mengaku sebagai nabi dan orang-orang yang enggan membayar zakat. Berdasarkan hal ini Abu Bakar memusatkan perhatiannya untuk memerangi para pemberontak yang dapat mengacaukan keamanan dan memengaruhi orang-orang islam.
Dengan demikian, dikirimlah pasukan untuk menumpas para pemberontak di Yamamah. Dalam penumpasan ini banyak umat islam yang gugur, yang terdiri dari sahabat dekat Rasulullah dan para hafidz Al-Quran, sehingga mengurangi jumlah sahabat yang hafal Al-Quran. Oleh karena itu, Umar bin Khattab menyarankan kepada khalifah Abu Bakar untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran, kemudian untuk merealisasikan saran tersebut diutuslah Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan semua tulisan Al-Quran. Pola pendidikan pada masa Abu Bakar masih seperti pada masa Nabi, karena jarak sejarah antara Nabi dan Abu bakar masih sangat dekat.
Dari segi materi pendidikan islam terdiri dari pendidikan tauhid atau keimanan, akhlak, ibadah, kesehatan, dan lain sebagainya.[2]
1.      Pendidikan keimanan, yaitu menanamkan bahwa satu-satunya yang wajib disembah adalah Allah.
2.      Pendidikan akhlak, seperti adab masuk rumah orang, sopan santun bertetangga, bergaul dalam masyarakat, dan lain sebagainya. Pendidikan ibadah seperti pelaksanaan shalat, puasa dan haji.
3.      Kesehatan seperti tentang kebersihan, gerak-gerik dalam shalat merupakan didikan untuk memperkuat jasmani dan rohani.
                   Pada masa khalifah Abu bakar kegiatan mengajarkan hadits lebih meningkat, selain untuk kepentingan pemeliharaan perbendaharaan hadits juga sangat dibutuhkan untuk kepentingan dasar penafsiran al-quran dalam usaha memperoleh suatu ketetapan hukum. Pelajaran bahasa asing mulai dirintis untuk memenuhi kebutuhan komunikasi dengan penduduk yang tidak berbahasa arab sebagai akibat perluasan wilayah islam keluar jazirah arab.[3]
                   Menurut Ahmad Syalabi, lembaga untuk belajar membaca menulis ini disebut dengan kuttab. Kuttab merupakan lembaga pendidikan yang dibentuk setelah masjid, selanjutnya Asma Hasan Fahmi mengatakan bahwa kuttab didirikan oleh orang-orang Arab pada masa Abu Bakar dan pusat pembelajaran pada masa ini adalah Madinah, sedangkan yang bertindak sebagai tenaga pendidik adalah para sahabat Rasul yang terdekat. Lembaga pendidikan islam adalah masjid, masjid dijadikan sebagai benteng pertahanan rohani, tempat pertemuan dan lembaga pendidikan islam, sebagai tempat salat berjamaah, membaca Al-Quran, dan lain sebagainya.[4]  
                   Berdasarkan uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa pelaksanaan pendidikan islam pada masa khalifah Abu Bakar ini adalah sama dengan pendidikan Islam yang dilaksanakan pada masa Nabi baik materi maupun lembaga pendidikan.
B.     Masa Umar bin Khattab (13-23H: 634-644 M)
Sesaat sebelum Abu Bakar meninggal, beliau menunjuk Umar sebagai penggantinya setelah dimusyawarahkan dengan para sahabat lainnya. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, kondisi politik dalam keadaan stabil, usaha perluasan wilayah Islam memperoleh hasil yang gemilang. Wilayah Islam pada masa Khalifah Umar meliputi Semenanjung Arabia, palestina, Syiria, Irak,Persia, dan Mesir.[5]
Dengan meluasnya wilayah Islam mengakibatkan meluasnya pula kehidupan dalam segala bidang. Untuk memenuhi kebutuhan ini diperlukan manusia yang memiliki keterampilan dan keahlian, sehingga dalam hal ini diperlukan pendidikan.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, sahabat – sahabat yang sangat berpengaruh tidak boleh keluar daerah kecuali atas izin dari khalifah dan dalam kurun waktu yang terbatas. Jadi, kalau ada diantara umat Islam yang ingin belajar hadis harus pergi ke madinah, ini berarti bahwa penyebarab ilmu dan pengetahuan para sahabat dan tempat pendidikan adalah terpusat di Madinah.[6]
Dengan meluasnya Islam sampai ke jazirah Arab, tampaknya khalifah memikirkan pendidikan Islam di daerah–daerah yang baru di taklukkan. Untuk itu, Umar bin Khattab memerintahkan para panglima perangnya, apabila mereka berhasil menguasai satu kota, hendaknya mereka mendirikan masjid sebagai tempat ibadah dan pendidikan.
Berkaitan dengan masalah pendidikan ini, khalifah Umar bin Khattab merupakan seorang pendidik melakukan pernyuluhan pendidikan dikota Madinah, beliau juga menerapkan pendidikan di masjid-masjid dan pasar–pasar, serta mengangkat dan menunjuk guru–guru untuk tiap–tiap daerah yang ditaklukkan itu, mereka bertugas mengajarkan isi Al-Qur’an dan ajaran Islam lainnya seperti Fikih, kepada penduduk yang baru masuk Islam. Serta khalifah Umar bin Khattab menginstruksikan kepada penduduk-penduduk kota, supaya mengajarkan kepada anak-anaknya, antara lain : memanah, berenang, mengendarai kuda dan membaca, menghafal syair-syair mudah serta peribahasa.[7]
Diantara sahabat – sahabat yang ditunjuk oleh Umar bin Khattab ke daerah adalah Abdurahman bin Ma’qaal dan Imran bin Hashim. Kedua orang ini ditempatkan di Basyrah. Abdurrahman bin Ghanam dikirim ke Syiria dan Hasan bin Abi Jabalah dikirim ke Mesir. Mu’az dan Ubadah dikirim ke Palestina dan Abu Darda’ dikirim ke Damaskus untuk mengajar Al-Quran di wilayah tersebut.[8] Adapun metode yang mereka pakai adalah guru duduk dihalaman masjid sedangkan murid melingkarinya.
Jadi dalam masa Khalifah Umar bin Khattab yang menjadi pendidik adalah Umar dan para sahabat–sahabat besar yang lebih dekat kepada Rasulullah dan memiliki pengaruh yang besar, sedangkan pusat pendidikannya selain di Madinah juga di Mesir, Syiria dan Basyrah.
Dengan meluasnya kekuasaan Islam, mendorong kegiatan pendidikan Islam bertambah besar, karena mereka yang baru masuk Islam ingin menimba ilmu keagamaan dari sahabat- sahabat yang menerima langsung dari Nabi. Pada masa ini telah terjadi mobilitas penuntut ilmu dari daerah – daerah yang jauh dari Madinah, sebagai pusat agama Islam.
Pada masa khalifah Umar bin Khattab, mata pelajaran yang diajarkan adalah membaca dan menulis Al- Qur’an dan menghafalnya serta belajar pokok –pokok agama Islam. Pendidikan pada masa ini lebih maju dibandingkan sebelumnya. Pada masa ini tuntutan untuk belajar bahasa Arab, juga sudah mulai tampak, orang yang baru masuk Islam dari daerah yang ditaklukkan harus belajar bahasa Arab, jika ingin belajar dan memahami pengetahuan Islam. Oleh karena itu, pada masa ini sudah ada pengajaran bahasa Arab.
Pada masa ini, pelaksanaan pendidikan lebih maju karena selama pemerintahan Umar Negara berada dalam keadaan stabil dan aman, hal ini disebabkan telah ditetapkannya masjid sebagai pusat pendidikan, juga telah terbentuknya pusat-pusat pendidikan Islam diberbagai kota dengan materi yang dikembangkan, baik dari segi ilmu bahasa, menulis, dan pokok–pokok ilmu lainnya.
Pendidikannya dikelolah di bawah pengaturan gubernur yang berkuasa saat itu, serta diirigi kemajuan di berbagai bidang, seperti jawatan pos, kepolisian, baitulmal, dan lain sebainya. Sedangkan sumber gaji para pendidik pada waktu itu diambilkan dari daerah yang ditaklukkan dan dari baitulmall.
C.    Masa Khalifah Usman bin Affan ( 23-35 H : 644 – 656 M )
Usman bin Affan adalah termasuk saudagar besar dan kaya juga sangat pemurah menafkahkan hartanya untuk kepentingan ummat Islam. Usman diangkat menjadi khalifah hasil dari pemilihan panitia enam ( Usman, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqash, dan Abdurrahman bin Auf.) yang ditunjuk oleh khalifah Umar bin Khattab menjelang beliau akan meninggal.
Pada masa khalifah Usman bin Affan, pelaksanaan pendidikan tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Pendidikan dimasa ini hanya melanjutkan apa yang telah ada, namun hanya sedikit terjadi perubahan yang mewarnai pendidikan Islam. Para sahabat yang berpengaruh dan dekat dengan Rosulullah yang tidak diperbolehkan meninggalkan Madinah dimasa khalifah Umar, diberikan kelonggaran untuk keluar dan menetap di daerah – daerah yang mereka sukai. Kebijakan ini sangat besar pengaruhnya bagi pelaksanaan pendidikan di daerah – daerah.
Proses pelaksanaan pola pendidikan pada masa Usman ini lebih ringan dan lebih mudah dijangkau oleh seluruh peserta didik yang ingin menuntut dan belajar Islam. Dari segi pusat pendidikan juga lebih banyak, sebab pada masa ini para bisa memilih tempat yang mereka inginkan untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat.
Khalifah Usman sudah merasa cukuip dengan pendidikan yang sudah berjalan, namun begitu ada usaha yang cemerlang yang telah terjadi dimasa ini yang berpengaruh luar biasa bagi pendidikan Islam yaitu untuk mengumpulkan tulisan ayat- ayat Al-Qur’an. Penyalinan ini terjadi karena perselisihan dalam bacaan Al-Qur’an. Berdasarkan hal ini, khalifah Usman memerintahkan kepada tim untuk penyalinan tersebut, adapun timnya adalah: Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Zaid binAsh, dan Abdurrahman bin Harist.[9]
Apabila terjadi pertikaian bacaan, maka harus diambil pedoman kepada dialek suku Quraisy, sebab al- Qur’an sebab Al- Qur’an ini diturunkan menurut dialek mereka sesuai dengan lisan Quraisy. Sementara Zaid bin Tsabit bukan orang Quraisy sedangkan ketiga tim lainnya adalah orang Quraisy.
Pada masa Khalifah Usman bin Affan, tugas mendidik dan mengajar umat diserahkan pada ummat itu sendiri, artinya pemerintah tidak mengangkat guru- guru. Jadi para pendidik tersebut dalam melaksanakan tugasnya hanya mengharapkan keridhaan Allah semata. Adapun objek pendidikan pada masa itu terdiri dari:[10]
1.    Orang dewasa dan atau orang tua yang baru masuk Islam
2.    Anak – anak, baik orang tuanya telah lama memeluk Islam ataupun yang baru memeluk Islam
3.    Orang dewasa dan atau orang tua yang telah lama memeluk Islam
4.    Orang yang mengkhususkan dirinya menuntut ilmu agama secara luas dan mendalam.
Dari keempat golongan terdidik tersebut, pelaksanaan pendidikan dan pengajaran tidak mungkin dilakukan dengan cara menyamaratakan tetapi harus diadakan pengklasifikasian yang rapi dan sistematis, disesuaikan dengan kemampuan dan kesanggupan dari peserta didiknya. Adapun metode yang digunakan adalah:[11]
1.      Golongan pertama menggunakan metode ceramah, hafalan, dan latihan dengan mengemukakan contoh – contoh dan peragaan.
2.      Golongan kedua menggunakan metode hafalan dan latihan
3.      Golongan ketiga menggunakan metode diskusi, ceramah, hafalan, tanya jawab
4.      Golongan keempat menggunakan metode ceramah, hafalan Tanya jawab, dan diskusi serta sedikit hafalan. Pendidikan dan pengajaran pada golongan ini lebih bersifat pematangan dan pendalaman
Mata pelajaran yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan terdidik dengan urutan mendahulukan pengetahuan yang sangat mendesak / penting untuk dijadikan pedoman dan pegangan hidup beragama. Ada 3 fase dalam pendidikan dan pengajarannya:[12]
1.      fase pembinaan ; dimaksudkan untuk memberikan kesempatan agar terdidik memperoleh kemantapan iman.
2.      Fase pendidikan : ditekankan pada ilmu- ilmu praktis dengan maksud agar mereka dapat segera mengamalkan ajaran dan tuntunan agama dengan sebaik- baiknya dalam kehidupan sehari- hari
3.      Fase pelajaran : ada pelajaran–pelajaran lain yang diberikan untuk penunjang pemahaman terhadap Al-Quran dan Hadits, seperti bahasa Arab dengan tata bahasanya, menulis, membaca, syair dan peribahasa.
Pendidikan pada masa khalifah Usman ini tidak banyak terjadi perkembangan, jika dibandingkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Hal ini disebabkan pada masa khalifah Usman urusan pendidikan diserahkan begitu saja pada rakyat. Dari segi pemerintahan khalifah Usman banyak timbul pergolakan dalam masyarakat sebagai akibat ketidaksenangan mereka terhadap kebijakan khalifah Usman yang mengangkat kerabatnya dalam jabatan pemerintahan
D.    Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. ( 35-40 H : 656-661 M )
Ali adalah khalifah yang keempat setelah Usman bin Affan. Pada masa pemerintahannya sudah diguncang peperangan dengan Aisyah ( istri Nabi) beserta Talhah dan Abdullah bin Zubair karena kesalahfahaman dalam menyikapi pembunuhan terhadap Usman, peperangan diantara mereka di sebut perang Jamal (unta) karena Aisyah menggunakan kendaraan unta. Setelah berhasil mengatasi pemberontakan Aisyah, muncul pemberontakan lain, sehingga masa kekuasaan khalifah Ali tidak pernah mendapatkan ketenangan dan kedamainan.                                         
Muawiyah sebagai gubernur di Damaskus memberontak untuk menggulingkan kekuasaannya. Peperangan ini disebut perang Shiffin, karena terjadi di Shiffin. Ketika tentara Muawiyah terdesak oleh pasukan Ali, maka Muawiyah segera mengambil siasat untuk menyatakan tahkim ( penyelesaian secara adil dan damai ). Semula Ali menolak, tetapi karena desakan dari beberapa tentaranya akhirnya Ali menerimanya, namun tahkim malah menimbulkan kekacauan, sebab Muawiyah curang, dengan tahkim tersebut, Muawiyah berhasil mengalahkan Ali dan mendirikan pemerintahan tandingan di Damaskus. Sementara itu, sebagian tentara yang menentang keputusan Ali dengan cara tahkim, meninggalkan Ali dan membuat kelompok tersendiri yaitu khawarij. [13]
Pada masa khalifah Ali ini terjadi kekacauan dan pemberontakan, sehingga pemerintahannya tidak stabil. Dengan kericuhan politik pada masa ini, kegiatan pendidikan Islam mendapat hambatan dan gangguan. Pada saat itu khalifah Ali bin Abi Thalib tidak lagi memikirkan masaalah pendidikan karena seluruh perhatiannya ditumpahkan pada pada masalah keamanan dan kedamaian bagi masyarakat Islam. Dengan demikian masalah pola pendidikan pada masa Khulafaur Rasyidin tidak jauh berbeda dengan masa Nabi yang menekan pada pengajaran baca tulis dan ajaran –ajaran Islam yang bersumber pada Al- Qur’an dan Hadits Nabi.[14]



[1] Badri Yatim, Sejarah Peraaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001) 36
[2] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989) 18
[3] Soekarno,et l, sejarah dan filsafat pendidikan islam,(Bandung: angkasa,1983) 49-50.
[4] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011)45- 46
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban 37

[6] Soekarno,et l, sejarah dan filsafat 51
[7] Mahmud yunus, Sejarah Pendididikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992) 40
[8] Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005) 15.
[9] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011)  49
[13] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011) 50
[14] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan...50

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar